Selasa, 18 Desember 2012
Selasa, 04 Desember 2012
konsep dan penyesuaian diri
A.
Konsep Penyesuaian Diri
Makna akhir
dari hasil pendidikan seseorang individu terletak pada sejauhmana hal yang
telah dipelajari dpat membantunya dalam menyesuaikan diri dengan
kebutuhan-kebutuhan hidupnya dan pada tuntutan masyarakat. Sejak lahir sampai meninggal
seorang individu merupakan organisme yang aktif dengan tujuan aktivitas yang
berkesinambungan. Ia berusaha untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya
dan juga semua dorongan yang memberi peluang kepadanya untuk berfungsi sebagai
anggota kelompoknya, penyesuaian diri secara harmonis, baik terhadap diri
sendiri maupun terhadap lingkungannya.
- Konsep Penyesuaian Diri
Penyesuaian
dapat diartikan atau dideskripsikan sebagai adaptasi dapat mempertahankan
eksistensinya atau bisa survive dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah
dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan
sosial. Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai konformitas, yang berarti
menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip. Penyesuaian sebagai
penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi
respons-respons sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik,
kesulitan, dan frustrasi-frustrasi secara efisien.
Individu
memiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang memenuhi syarat.
Penyesuaian sebagai penguasaan dan kematangan emosional. Kematangan emosional
maksudnya ialah secara positif memiliki responss emosional yang tepat pada
setiap situasi. Disimpulkan bahwa penyesuaian adalah usaha manusia untuk mencapai
keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya.
- Proses Penyesuaian Diri
Penyesuaian
diri adalah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi
kebutuhan sesuai dengan lingkungan. Seperti kita ketahui bahwa penyesuaian yang
sempurna tidak pernah tercapai. Penyesuaian yang terjadi jika manusia/individu
selalu dalam keadaan seimbang antara dirnya dengan lingkungannya dimana tidak
ada lagi kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan dimana semua fungsi
organisme/individu berjalan normal. Sekali lagi, bahwa penyesuaian yang
sempurna itu tidak pernah dapat dicapai. Karena itu penyesuaian diri lebih
bersifat sutau proses sepanjang hayat (lifelong process), dan tantangan
hidup guna mencapai pribadi yang sehat.
Respons
penyesuaian, baik atau buruk, secara sederhana dapat dipandang sebagai sutau
upaya individu untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan untuk memelihara
kondisi-kondisi keseimbangan sutau proses kearah hubungan yang harmonis antara
tuntutan internal dan tuntutan eksternal. Dalam proses penyesuaian diri dapat
saja muncul konflik, tekanan, dan frustasi dan individu didorong meneliti
berbagai kemungkinan perilaku untuk membebaskan diri dari tegangan. Individu
dikatakan berhasil dalam melakukan penyesuaian diri apabila ia dapat memenuhi
kebutuhannya dengan cara-cara yang wajar atau apabila dapat diterima oleh
lingkungan tanpa merugikan atau mengganggu lingkungannya.
B. Karakteristik
remajaPermasalahan yang Timbul Pada Masa Remaja
Gunarsa (1989) merangkum beberapa
karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri
remaja, yaitu:
- Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam
gerakan.
- Ketidakstabilan emosi.
- Adanya perasaan kosong akibat perombakan
pandangan dan petunjuk hidup.
- Adanya sikap menentang dan menantang orang tua.
- Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi
pangkal penyebab pertentangan-pertentang dengan orang tua.
- Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi
remaja tidak sanggup memenuhi semuanya.
- Senang bereksperimentasi.
- Senang bereksplorasi.
- Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.
- Kecenderungan membentuk kelompok dan
kecenderungan kegiatan berkelompok.
(Fagan, 2006) Berdasarkan tinjauan
teori perkembangan, usia remaja adalah masa saat terjadinya perubahan-perubahan
yang cepat, termasuk perubahan fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial
dan pencapaian Sebagian remaja mampu mengatasi transisi ini dengan baik, namun
beberapa remaja bisa jadi mengalami penurunan pada kondisi psikis, fisiologis,
dan sosial. Beberapa permasalahan remaja yang muncul biasanya banyak
berhubungan dengan karakteristik yang ada pada diri remaja.
Sarwono (1994) faktor yang
mempengaruhi perilaku remaja dibagi menjadi dua yaitu :
a. Faktor pribadi, meliputi:
1. Faktor bakat yang
mempengaruhi temperamen (menjadi pemarah)
2. Cacat tubuh
3.
Ketidakmampuan menyesuaikan diri.
b. Faktor lingkungan, meliputi:
1. Ma lnutrisi
(Kekurangan gizi)
2. Ke miskinan di kota-kota
besar
3. Ga ngguan
lingkungan ( polusi, bencana alam, kecelakaan lalulintas )
4. Migrasi ( urbanisasi, pengungsi karena perang )
5. Faktor sekolah ( kesalahan pendidikan, faktor
kurikulum )
6. Keluarga yang tercerai berai ( perceraian,
perpisahan yang terlalu lama )
7. Gangguan dalam pengasuhan oleh keluarga (
kematian orangtua, orangtua
sakit, atau orangtua yang tidak
harmonis )
C. Implikasi Perkembangan Peserta Didik terhadap Pendidikan
Manusia pada
umumnya berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya. Perkembangan tersebut
dimulai sejak masa konsepsi hingga akhir hayat. Ketika individu memasuki usia
sekolah, yakni antara tujuh sampai dengan dua belas tahun, individu dimaksud
sudah dapat disebut sebagai peserta didik yang akan berhubungan dengan proses
pembelajaran dalam suatu sistem pendidikan.
Cara
pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan per-kembangan anak,
yakni memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) programnya disusun secara fleksibel
dan tidak kaku serta memperhatikan perbedaan individual anak; (2) tidak
dilakukan secara monoton, tetapi disajikan secara variatif melalui banyak
aktivitas; dan (3) melibatkan penggunaan berbagai media dan sumber belajar
sehingga memungkinkan anak terlibat secara penuh dengan menggunakan berbagai
proses perkembangannya (Amin Budiamin, dkk., 2009:84).
Aspek-aspek
perkembangan peserta didik yang berimplikasi terhadap proses pendidikan akan
diuraikan seperti di bawah ini.
1.
Implikasi Perkembangan Biologis dan Perseptual
Secara
fisik, anak pada usia sekolah dasar memiliki karakteristik tersendiri yang
berbeda dengan kondisi fisik sebelum dan sesudahnya. Karakteristik perkembangan
fisik ini perlu dipelajari dan dipahami karena akan memiliki implikasi tertentu
bagi penyelenggaraan pendidikan.
Menurut
Budiamin, dkk. (2009:5) proses perkembangan biologis atau perkembangan fisik
mencakup perubahan-perubahan dalam tubuh individu seperti pertumbuhan otak,
otot, sistem syaraf, struktur tulang, hormon, organ-organ inderawi, dan
sejenisnya. Termasuk juga di dalamnya perubahan dalam kemampuan fisik seperti
perubahan dalam penglihatan, kekuatan otot, dan lain-lain. Pemikiran tersebut
menuntut perlunya suatu penyelenggaraan pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan fisik seperti yang telah diungkapkan.
Dalam hal
ini, Budiamin, dkk. (2009:84) juga berpendapat bahwa diperlukan suatu cara
pembelajaran yang “hidup”, dalam arti memberikan banyak kesempatan kepada
peserta didik untuk memfungsikan unsur-unsur fisiknya. Dengan kata lain,
diperlukan suatu cara pembelajaran yang bersifat langsung. Cara pembelajaran
seperti ini tidak saja akan memunculkan kegemaran belajar, tetapi juga akan
memberikan banyak dampak positif.
Anak usia
sekolah dasar sudah lebih mampu mengontrol tubuhnya daripada anak usia
sebelumnya. Kondisi demikian membuat anak SD dapat memberikan perhatian yang
lebih lama terhadap kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung. Namun, perlu
diingat bahwa kondisi fisik tersebut masih jauh dari matang dan masih terus
berkembang. Fisik mereka masih memerlukan banyak gerak untuk peningkatan
keterampilan motorik dan memenuhi kesenangan. Oleh karena itu, suatu prinsip
praktek pendidikan yang penting bagi anak usia sekolah dasar yaitu mereka harus
terlibat dalam kegiatan aktif daripada pasif.
Selanjutnya
Budiamin, dkk. (2009:78) mengemukakan bahwa perkembangan perseptual pada
dasarnya merupakan proses pengenalan individu terhadap lingkungan. Semua
informasi tentang lingkungan sampai kepada individu melalui alat-alat indera
yang kemudian diteruskan melalui syaraf sensori ke bagian otak. Informasi
tentang objek penglihatan diterima melalui mata, informasi tentang objek
pendengaran diketahui melalui telinga, objek sentuhan melalui kulit, dan objek
penciuman melalui hidung. Tanpa adanya alat-alat indera tersebut, otak manusia
akan terasing dari dunia yang ada di sekitarnya.
Kondisi
perkembangan perseptual pun masih mengalami penajaman dan penghalusan.
Aspek-aspek perseptual ini akan berkembang dengan baik jika dirangsang dan
difungsikan melalui interaksi dengan lingkungan. Pemenuhan kebutuhan tersebut
tentunya tidak bisa dilakukan hanya melalui pelajaran penjaskes yang mungkin
hanya dilaksanakan seminggu sekali.
Seiring
dengan perkembangan motorik anak terhadap kegiatan pendidikan, Yusuf (2005:105)
berpendapat bahwa pada anak sekolah dasar kelas awal tepat sekali diajarkan
tentang hal-hal berikut: (1) dasar-dasar keterampilan menulis dan menggambar;
(2) keterampilan berolahraga; (3) gerakan-gerakan permainan seperti meloncat
dan berlari; (4) baris-berbaris secara sederhana untuk menanamkan kedisiplinan;
serta (5) gerakan-gerakan ibadah shalat.
Selanjutnya
masih berkaitan dengan perkembangan biologis dan perseptual anak usia sekolah
dasar, Purwanto (2006:66) memaparkan bahwa suatu keadaan yang berbeda akan
menimbulkan reaksi yang berbeda pula pada diri individu. Misalnya di dalam
suatu kelas terdapat seorang anak yang berambut pirang karena pembawaan dari
orang tuanya. Ada kalanya rambut pirang tersebut menimbulkan perasaan tidak
puas atau perasaan rendah diri pada anak itu karena merasa berbeda dengan
teman-temannya. Akan tetapi, mungkin juga rambut pirang itu akan menjadi suatu
kebanggaan karena anak tersebut merasa unik.
Di sinilah
kita melihat bahwa perkembangan fisik peserta didik memegang peranan yang
penting terhadap pendidikan. Dengan demikian, jelaslah bahwa perbedaan
perkembangan fisik harus dihadapi dengan cara yang tepat oleh para pendidik.
Meskipun
tidak sepesat pada masa usia dini, perkembangan biologis maupun perseptual anak
terus berlangsung. Pemahaman tentang karakteristik per-kembangan akhirnya
membawa beberapa implikasi bagi penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar.
Implikasi-imlikasi dimaksud khususnya berkenaan dengan penyelenggaraan
pembelajaran secara umum, pemeliharaan kesehatan dan nutrisi anak, pendidikan
jasmani dan kesehatan, serta penciptaan lingkungan dan pembiasaan berperilaku
sehat.
2.
Implikasi Perkembangan Intelektual
Perkembangan
intelektual erat kaitannya dengan potensi otak manusia. Menurut Widiasmadi
(2010:55), potensi otak manusia hanya tampak delapan persen sebagai pikiran
sadar, sedangkan sisanya 92 persen disebut alam bawah sadar. Dari penjelasan
tersebut dapat kita ketahui bahwa potensi otak manusia yang berkaitan dengan
perkembangan intelektual hanya memuat delapan persen saja. Untuk itu,
perkembangan intelektual pada peserta didik perlu dikembangkan.
Proses
perkembangan intelektual menurut pendapat Budiamin, dkk. (2009:5) melibatkan
perubahan dalam kemampuan dan pola berpikir, kemahiran berbahasa, dan cara
individu memperoleh pengetahuan dari lingkungannya. Aktivitas-aktivitas seperti
mengamati dan mengklasifikasikan benda-benda, menyatukan beberapa kata menjadi
satu kalimat, menghapal doa, memecahkan soal-soal matematika, dan menceritakan
pengalaman kepada orang lain merupakan peran proses intelektual dalam
perkembangan anak.
Teori Piaget
banyak digunakan dalam praktik pendidikan atau proses pembelajaran, meski teori
ini bukanlah teori mengajar. Piaget (Budiamin, dkk., 2009:108) berpandangan
bahwa: (1) pembelajaran tidak harus berpusat pada guru, tetapi berpusat pada
peserta didik; (2) materi yang dipelajari harus menantang dan menarik minat
belajar peserta didik; (3) pendidik dan peserta didik harus sama-sama terlibat
dalam proses pembelajaran; (4) urutan bahan dan metode pembelajaran harus
menjadi perhatian utama, karena akan sulit dipahami oleh peserta didik jika
urutannya loncat-loncat; (5) guru harus memperhatikan tahapan perkembangan
kognitif peserta didik dalam melakukan stimulasi pembelajaran; dan (6)
pembelajaran hendaknya dibantu dengan benda-benda konkret pada anak sekolah
dasar kelas awal.
Pendapat
lain mengatakan bahwa model pendidikan yang aktif adalah model yang tidak
menunggu sampai peserta didik siap sendiri. Sekolah yang sebaiknya mengatur
lingkungan belajar sedemikan rupa sehingga dapat memberi kemungkinan maksimal
pada peserta didik untuk berinteraksi dalam proses pembelajaran. Dengan lingkungan
yang penuh rangsangan untuk belajar, proses pembelajaran aktif akan terjadi
sehingga mampu membawa peserta didik untuk maju ke tahap berikutnya. Dalam hal
ini, pendidik hendaknya menyadari bahwa perkembangan intelektual anak berada di
tangannya (Pristanto, 2011).
Perkembangan
intelektual pada anak usia sekolah dasar sudah cukup untuk menjadi dasar
diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir atau daya
nalarnya. Perkembangan intelektual dan pengalaman belajar anak sangat erat kaitannya.
Perkembangan intelektual peserta didik akan memfasilitasi kemampuan belajarnya.
Peserta didik sudah dapat diberikan dasar-dasar keilmuan, seperti membaca,
menulis, dan berhitung. Dalam mengembangkan daya nalar, caranya dengan melatih
peserta didik untuk mengungkapkan pendapat, gagasan, atau penilaiannya terhadap
berbagai hal. Misalnya yang berkaitan dengan materi pelajaran, tata tertib
sekolah, dan sebagainya.
3.
Implikasi Perkembangan Bahasa
Bahasa
merupakan alat untuk berkomunikasi dengan orang lain. Pada dasarnya bahasa
sebagai alat komunikasi tidak hanya berupa bicara, melainkan juga dapat
diwujudkan dengan tanda isyarat tangan atau anggota tubuh lainnya yang memiliki
aturan sendiri.
Sangat luas
sekali pengertian bahasa dalam menunjukkan suatu perkem-bangan. Oleh karena
itu, salah satu tokoh psikologi yaitu Wundt (Baradja, 2005:179) mendasarkan
teori bahasanya dengan aksioma paralel, yaitu gerakan-gerakan fisik merupakan
pernyataan gerakan-gerakan psikis. Dengan demikian, terdapat hubungan yang
paralel antara gejala batin dengan gejala luar. Apa yang terlihat dalam raut
wajah dan tingkah laku akan menunjukkan suatu kebutuhan psikologis seseorang.
Menurut
Yusuf (2005:118), bahasa sangat erat kaitannya dengan perkem-bangan berpikir
individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya,
yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik
kesimpulan. Yusuf pun menuturkan bahwa anak usia sekolah dasar merupakan masa
berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan menguasai perbendaharaan kata.
Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan berkomunikasi dengan orang lain,
anak sudah gemar membaca atau mendengarkan cerita yang bersifat kritis (tentang
petualangan, riwayat pahlawan, dan lain-lain). Pada masa ini tingkat berpikir
anak sudah lebih maju. Dia banyak menanyakan soal waktu dan sebab akibat.
Misalnya, kata tanya yang semula digunakan hanya “apa”, sekarang sudah diikuti
dengan pertanyaan “di mana”, “mengapa”, “bagaimana”, dan sebagainya. Oleh sebab
itu, pelajaran bahasa yang sengaja diberikan di sekolah dasar dapat menambah
perbendaharaan kata peserta didik, melatih peserta didik menyusun struktur
kalimat, peribahasa, kesusastraan, dan keterampilan mengarang.
Selanjutnya
masih berkaitan dengan bahasa, Budiamin, dkk. (2009:111) memperkirakan sekitar
50 bahasa isyarat digunakan di seluruh dunia. Penggunaan bahasa isyarat ini
diduga mempengaruhi pemrosesan informasi dan belajar.
Budiamin,
dkk. (2009:117) kemudian memaparkan implikasi perkembangan bahasa pada peserta
didik. Lihat pula Depdikbud (1999: 147).
1.
Apabila kegiatan pembelajaran yang diciptakan bersifat efektif, maka
perkembangan bahasa peserta didik dapat berjalan secara optimal. Sebaliknya
apabila kegiatan pembelajaran berjalan kurang efektif, maka dapat diprediksi
bahwa perkembangan bahasa peserta didik akan mengalami hambatan.
2.
Bahasa adalah alat komunikasi yang paling efektif dalam pergaulan sosial. Jika
ingin menghasilkan pembelajaran yang efektif untuk mendapatkan hasil pendidikan
yang optimal, maka sangat diperlukan bahasa yang komunikatif dan memungkinkan
peserta didik yang terlibat dalam interaksi pembelajaran dapat berperan secara
aktif dan produktif.
3.
Meskipun umumnya anak SD memiliki kemampuan potensial yang berbeda-beda, namun
pemberian lingkungan yang kondusif bagi perkembangan bahasa sejak dini sangat
diperlukan.
4.
Implikasi Perkembangan Kreativitas
Secara umum
kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir dan bersikap tentang
sesuatu dengan cara yang baru dan tidak biasa guna menghasilkan penyelesaian
yang unik terhadap berbagai persoalan.
Menurut
pendapat Galdner (Depdikbud, 1999:88), kreativitas merupakan suatu aktivitas
otak yang terorganisasikan, komprehensif, dan imajinatif tinggi untuk
menghasilkan sesuatu yang orisinil. Oleh karena itu, kreativitas lebih
dikatakan sebagai suatu yang lebih inovatif daripada reproduktif.
Desmita
dalam bukunya Psikologi Perkembangan (2008:176) memaparkan tentang
perhatian para psikolog dan kalangan dunia pendidikan terhadap kreativitas
sebagai salah satu aspek dari fungsi kognitif yang berperan dalam prestasi anak
di sekolah, yang bermula dari pidato Guilford tahun 1950. Guilford dalam
pidatonya menegaskan bahwa kreativitas perlu dikembangkan melalui jalur
pendidikan guna mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan bagi
kemajuan ilmu pengetahuan dan seni.
Menyadari
posisi strategis kreativitas dalam kehidupan peserta didik, perlu dikemukakan
berbagai upaya yang dapat mendukung pengembangan kreativitas terhadap
pendidikan. Namun dalam kenyataannya, kreativitas bukanlah sesuatu yang
diajarkan kepada peserta didik, melainkan hanya memungkinkan untuk dapat
dimunculkan.
Oleh sebab
itu, Treffinger (Depdikbud, 1999:105) mengemukakan sejumlah pengalaman belajar
yang dapat dikembangkan oleh pendidik agar mampu mendorong kreativitas peserta
didik, khususnya dalam proses pembelajaran. Hal tersebut antara lain guru
diharapkan dapat menyajikan materi pembelajaran, menyiapkan berbagai media,
menggunakan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan posisi peserta didik sebagai
subjek daripada objek pembelajaran, serta mengadakan evaluasi yang tepat
sehingga mampu mendukung pengembangan kreativitas peserta didik.
5.
Implikasi Perkembangan Sosial
Manusia
menurut pembawaannya adalah makhluk sosial. Sejak dilahirkan, bayi sudah
termasuk ke dalam masyarakat kecil yang disebut keluarga. Ketika kecil, mulanya
anak-anak hanya mempunyai hak saja. Di dalam rumah tangga ia mempunyai hak
untuk dipelihara dan dilindungi oleh orang tuanya. Namun, lama-kelamaan keadaan
itu berubah. Anak-anak yang pada mulanya hanya mempunyai hak saja,
berangsur-angsur mempunyai kewajiban.
Lingkungan
sosial merupakan pengaruh luar yang datang dari orang lain. Selain itu, yang
termasuk lingkungan sosial ialah pendidikan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
pendidikan adalah pengaruh-pengaruh yang disengaja dari anggota berbagai
golongan tertentu, seperti pengaruh ayah, nenek, paman, dan guru-guru.
Purwanto
(2006:171) mengatakan bahwa tugas dan tujuan pendidikan sosial adalah: (1)
mengajar anak-anak yang hanya mempunyai hak saja, menjadi manusia yang sadar
akan kewajibannya terhadap bermacam-macam golongan dalam masyarakat; dan (2)
membiasakan anak-anak mematuhi dan memenuhi kewajiban sebagai anggota
masyarakat.
Dalam
menjalani kehidupannya sebagai makhluk sosial, senantiasa selalu tumbuh dalam
diri seorang anak yang dimaksud dengan perkembangan sosial.
Budiamin,
dkk. (2009:123) berpandangan bahwa perkembangan sosial merupakan pencapaian
kematangan dalam hubungan sosial yang erat kaitannya dengan pencapaian
kemandirian. Sementara itu, Sunarto dan Hartono (2006:143) berpendapat bahwa
perkembangan sosial adalah berkembangnya tingkat hubungan antarmanusia
sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan hidup manusia.
Senada
dengan kedua pendapat di atas, Yusuf (2005:122) mengemukakan bahwa perkembangan
sosial merupakan proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma
kelompok, moral, tradisi, atau meleburkan diri menjadi satu kesatuan yang
saling berkomunikasi dan bekerja sama. Anak dilahirkan belum memiliki kemampuan
untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus
belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain, termasuk dengan
teman sebaya.
Berkat
perkembangan social, seorang anak dapat menyesuaikan diri dengan kelompok teman
sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitar. Dalam proses belajar di
sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan oleh pendidik
dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik
maupun pikiran. Tugas-tugas kelompok ini harus memberikan kesempatan kepada
setiap peserta didik untuk menunjukkan prestasinya, tetapi juga diarahkan untuk
mencapai tujuan bersama. Dengan melaksanakan tugas kelompok, peserta didik
dapat belajar tentang kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati, dan
bertanggung jawab.
Dilihat dari
pemahaman terhadap aspek perkembangan sosial pada peserta didik, terdapat
beberapa implikasi menurut Budiamin, dkk. (2009:128), yaitu: (1) untuk
meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menyadari dan menghayati pengalaman
sosialnya, dapat dilakukan aktivitas-aktivitas bermain peran yang
ditindaklanjuti dengan pembahasan di antara mereka; (2) keberadaan teman sebaya
bagi anak usia sekolah dasar merupakan hal yang sangat berarti, bukan saja
sebagai sumber kesenangan bagi anak melainkan dapat membantu mengembangkan
banyak aspek perkembangan anak. Ini mengimplikasikan perlunya
aktivitas-aktivitas pendidikan yang memberikan banyak kesempatan kepada peserta
didik untuk berdialog dengan sesamanya.
6.
Implikasi Perkembangan Emosional
Emosi
menurut Sarwono (Yusuf, 2005:115) merupakan keadaan pada diri seseorang yang
disertai warna afektif, baik pada tingkat lemah maupun pada tingkat yang luas.
Baradja (2005:221) kemudian mengemukakan beberapa contoh tentang pengaruh emosi
terhadap perilaku individu dalam pembelajaran, di antaranya: (1) memperkuat dan
melemahkan semangat apabila timbul rasa senang atau kecewa atas hasil belajar
yang dicapai; (2) menghambat konsentrasi belajar apabila sedang mengalami
ketegangan emosi; (3) menggangu penyesuaian sosial apabila terjadi rasa cemburu
dan iri hati; dan (4) suasana emosional yang dialami individu semasa kecilnya
akan mempengaruhi sikapnya di kemudian hari.
Demikian
pula Hurlock (1978:211) mengungkapkan secara jelas bahwa emosi mempengaruhi
cara belajar anak, yaitu: (1) menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan; (2)
reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi kebiasaan; (3)
emosi merupakan suatu bentuk komunikasi; (4) emosi mewarnai pandangan anak; dan
(5) emosi dapat menggangu aktivitas mental.
Pendapat
lain mengungkapkan bahwa emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi
tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Emosi yang
positif seperti perasaan senang, bersemangat, atau rasa ingin tahu akan
mempengaruhi individu untuk berkonsentrasi terhadap aktivitas belajar, seperti
memperhatikan penjelasan guru, aktif dalam berdiskusi, mengerjakan tugas, dan
sebagainya (Yusuf, 2005:181).
Berdasarkan
pendapat yang dikemukakan Yusuf, dapat diuraikan bahwa jika yang menyertai
proses belajar itu emosi negatif seperti perasaan tidak senang dan kecewa, maka
proses belajar akan mengalami hambatan, dalam arti peserta didik tidak dapat
memusatkan perhatiannya untuk belajar sehingga kemungkinan besar akan mengalami
kegagalan dalam belajarnya.
Begitu
pentingnya faktor perkembangan emosional dalam menentukan keberhasilan belajar
peserta didik, Desmita (2008:173) mengutip pernyataan DePorter, Reardon, dan
Singer-Nourie dalam buku mereka yang sangat terkenal Quantum Teaching:
Orchestrating Student Success, yang menyarankan agar para pendidik memahami
emosi para siswa. Memperhatikan dan memahami emosi siswa dapat membantu
pendidik mempercepat proses pembelajaran yang lebih bermakna dan permanen.
Memperhatikan dan memahami emosi siswa berarti membangun ikatan emosional
dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan, dan
menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar. Melalui kondisi belajar di
maksud, para siswa akan lebih ikut serta dalam kegiatan sukarela yang
berhubungan dengan bahan pelajaran.
7.
Implikasi Perkembangan Moral
Purwanto
(2006:31) berpendapat, moral bukan hanya memiliki arti bertingkah laku sopan
santun, bertindak dengan lemah lembut, dan berbakti kepada orang tua saja,
melainkan lebih luas lagi dari itu. Selalu berkata jujur, bertindak konsekuen,
bertanggung jawab, cinta bangsa dan sesama manusia, mengabdi kepada rakyat dan
negara, berkemauan keras, berperasaan halus, dan sebagainya, termasuk pula ke
dalam moral yang perlu dikembangkan dan ditanamkan dalam hati sanubari
anak-anak.
Adapun
perkembangan moral menurut Santrock yaitu perkembangan yang berkaitan dengan
aturan mengenai hal yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya
dengan orang lain (Desmita, 2008:149).
Perkembangan
moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, salah satunya melalui
pendidikan langsung, seperti diungkapkan oleh Yusuf (2005:134). Pendidikan
langsung yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang
benar-salah atau baik-buruk oleh orang tua dan gurunya.
Selanjutnya
masih menurut Yusuf (2005:182), pada usia sekolah dasar anak sudah dapat
mengikuti tuntutan dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia
ini, anak dapat memahami alasan yang mendasari suatu bentuk perilaku dengan
konsep baik-buruk. Misalnya, dia memandang bahwa perbuatan nakal, berdusta, dan
tidak hormat kepada orang tua merupakan suatu hal yang buruk. Sedangkan perbuatan
jujur, adil, dan sikap hormat kepada orang tua merupakan suatu hal yang baik.
Selain
pemaparan di atas, Piaget (Hurlock, 1980:163) memaparkan bahwa usia antara lima
sampai dengan dua belas tahun konsep anak mengenai moral sudah berubah.
Pengertian yang kaku dan keras tentang benar dan salah yang dipelajari dari
orang tua, menjadi berubah dan anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan
khusus di sekitar pelanggaran moral. Misalnya bagi anak usia lima tahun,
berbohong selalu buruk. Sedangkan anak yang lebih besar sadar bahwa dalam
beberapa situasi, berbohong dibenarkan. Oleh karena itu, berbohong tidak selalu
buruk.
Selain
lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan juga menjadi wahana yang kondusif
bagi pertumbuhan dan perkembangan moral peserta didik. Untuk itu, sekolah
diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk untuk melakukan
sosialisasi bagi anak-anak dalam pengembangan moral dan segala aspek
kepribadiannya. Pelaksanaan pendidikan moral di kelas hendaknya dihubungkan
dengan kehidupan yang ada di luar kelas. Dengan demikian, pembinaan
perkembangan moral peserta didik sangat penting karena percuma saja jika
mendidik anak-anak hanya untuk menjadi orang yang berilmu pengetahuan, tetapi
jiwa dan wataknya tidak dibangun dan dibina.
8.
Implikasi Perkembangan Spiritual
Anak-anak
sebenarnya telah memiliki dasar-dasar kemampuan spiritual yang dibawanya sejak
lahir. Untuk mengembangkan kemampuan ini, pendidikan mempunyai peranan yang
sangat penting. Oleh karena itu, untuk melahirkan manusia yang ber-SQ tinggi
dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada perkembangan aspek IQ
saja, melainkan EQ dan SQ juga.
Zohar dan
Marshall (Desmita, 2008:174) pertama kali meneliti secara ilmiah tentang
kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai, yang menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Purwanto
(2006:9) mengemukakan bahwa pendidikan yang dilakukan terhadap manusia berbeda
dengan “pendidikan” yang dilakukan terhadap binatang. Menurutnya, pendidikan
pada manusia tidak terletak pada perkem-bangan biologis saja, yaitu yang
berhubungan dengan perkembangan jasmani. Akan tetapi, pendidikan pada manusia
harus diperhitungkan pula perkembangan rohaninya. Itulah kelebihan manusia yang
diberikan oleh Allah Swt., yaitu dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan)
untuk mengenal penciptanya, yang membedakan antara manusia dengan binatang.
Fitrah ini berkaitan dengan aspek spiritual.
Berkaitan
dengan perkembangan spiritual yang membawa banyak implikasi terhadap
pendidikan, diharapkan muncul manusia yang benar-benar utuh dari
lembaga-lembaga pendidikan. Untuk itu, pendidikan agama nampaknya harus tetap
dipertahankan sebagai bagian penting dari program-program pendidikan yang
diberikan di sekolah dasar. Tanpa melalui pendidikan agama, mustahil SQ dapat
berkembang baik dalam diri peserta didik.
9.
Implikasi Perkembangan Karier
Salah satu
aspek perkembangan anak usia sekolah dasar yang perlu mendapat perhatian khusus
adalah perkembangan karier. Menurut Budiamin, dkk. (2009:154), karier adalah
perjalanan hidup individu yang bermakna melalui serangkaian kesuksesan.
Disebutkan pula bahwa sesuatu bisa disebut karier jika mengimplikasikan adanya:
(1) pendidikan yang diwujudkan dengan keahlian tertentu, (2) keberhasilan, (3)
dedikasi atau komitmen, dan (4) kebermaknaan personal dan finansial.
Mengenai
pengembangan karier pada anak usia SD, Parson (Budiamin, dkk., 2009:154)
mengemukakan dua langkah pengambilan keputusan karier. (1) perolehan pemahaman
diri, yaitu pemahaman secara jelas tentang sikap, prestasi, kemampuan, minat,
nilai-nilai, dan kepribadian. Sejak dini anak usia SD dibimbing untuk memahami
hal-hal tersebut. Misalnya, anak usia SD sudah mulai diajak mendiskusikan
kelebihan dan kekurangan diri sendiri dilihat dari prestasi belajarnya, diajak
mendiskusikan minat-minatnya, dan berbagai hal lain yang terkait dengan
ciri-ciri dirinya; (2) memperoleh pengetahuan tentang dunia kerja yang mencakup
pengetahuan tentang informasi tipe lapangan kerja.
Dalam
memfasilitasi perkembangan karier anak usia sekolah dasar, orang tua dan guru
hendaknya mengenalkan bidang-bidang karier yang ada, terutama yang dekat dengan
lingkungan anak. Jika stimulasi perkembangan karier dilakukan seperti ini, maka
yang perlu ditekankan adalah agar anak berpikir dan terdorong agar ingin
menjadi orang yang berkarier.
Guna
menumbuhkan perasaan dan keyakinan mampu berkarya atau berprestasi, sekolah
perlu memberi peluang kepada peserta didik untuk meraih sukses dalam pengalaman
belajarnya, seperti memberikan alternatif pilihan kegiatan yang memungkinkan
anak untuk menunjukkan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya (Depdikbud,
1999:192).
Fakultas Ilmu Pendidikan Pengetahuan Sosial
Bimbingan dan Konseling 3A
Tugas : perkembangan peserta didik
Ibu dhova sharoza, m.soc.sc
Langganan:
Postingan (Atom)